Di sebuah gang sempit di kota Bandung, suara khas “cilok… cilok…” kerap terdengar setiap sore. Di balik suara itu, ada seorang pemuda bertopi lusuh dan tangan yang penuh bekas luka minyak panas. Namanya Yusuf Rahman, anak sulung dari lima bersaudara, lulusan SMA yang memilih menjual cilok keliling demi membantu orang tuanya.
Namun hari ini, Yusuf tidak lagi mendorong gerobak. Ia sedang berada ribuan kilometer jauhnya dari rumah kontrakannya, mengenakan jas hitam rapi, dan berdiri di depan ribuan investor dalam ajang teknologi dunia di Silicon Valley, California. Ia bukan penjual cilok lagi. mg4d Ia adalah founder dari startup edukasi digital berbasis AI, yang kini nilainya menembus Rp50 miliar.
Inilah kisah MG4D: Mengharukan, Menggugah, Menginspirasi, Menghebohkan. Kisah anak gang sempit yang membuktikan bahwa impian tak punya batas jika diperjuangkan.
Mengharukan: Hidup dalam Kekurangan, Tapi Penuh Cinta
Yusuf lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh bangunan, ibunya penjahit rumahan. Rumah mereka berukuran 3×4 meter, tanpa kamar, hanya bersekat lemari. Yusuf tumbuh dalam kondisi serba terbatas—tak punya kamar pribadi, tak punya sepatu layak, bahkan harus gantian buku dengan adik-adiknya.
Setelah lulus SMA, ia sempat mencoba kuliah namun tak mampu membayar semester kedua. Saat itu ia berkata pada ibunya, “Bu, Yusuf istirahat dulu ya kuliahnya. Biar adek-adek bisa sekolah.”
Sejak itu, Yusuf mulai berjualan cilok keliling. Sambil mendorong gerobak, ia menyimpan satu benda kecil di kantong celananya: ponsel Android bekas yang dibelinya dari hasil menabung tiga bulan.
Di sela waktu berjualan, Yusuf membuka YouTube dan belajar coding secara otodidak. “Saya suka lihat video bikin aplikasi, terus saya tiru. Gagal berkali-kali, tapi saya ulang terus,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak ada mentor. Tak ada tempat nyaman. Hanya tekad dan kuota hasil pinjam WiFi tetangga.
Menggugah: Saat Gerobak Jadi Laboratorium Impian
Setelah satu tahun belajar coding, Yusuf berhasil membuat aplikasi pertamanya: “CerdasMatika”, aplikasi belajar Matematika dasar untuk anak SD. Ia uji cobakan ke adik-adiknya dan teman-teman sekitar. “Waktu mereka bilang ‘asyik banget, Kak!’, rasanya seperti juara dunia,” kenangnya.
Namun Yusuf sadar, aplikasi tak akan berarti jika tak dikenal orang. Ia pun mulai mempromosikannya lewat grup Facebook, komunitas belajar, hingga mencetak pamflet sendiri dan menempelkannya di tiang listrik sekitar sekolah-sekolah.
Responnya lambat, tapi Yusuf tidak menyerah. “Waktu saya lihat ada 10 orang unduh, saya sudah terharu. Saya pikir, mungkin ini langkah kecil, tapi nyata.”
Titik balik datang ketika seorang guru SD dari Surabaya membagikan aplikasinya di Twitter. Tak disangka, postingan itu viral. Dalam tiga hari, unduhan melonjak menjadi 50.000 pengguna.
Situs berita mulai meliput kisah Yusuf: “Penjual Cilok Bikin Aplikasi Edukasi Anak” menjadi judul utama yang menghiasi banyak media lokal.
Menginspirasi: Membangun Startup dari Keringat dan Doa
Viralnya aplikasi Yusuf menarik perhatian investor lokal. Ia ditawari program inkubasi startup di Jakarta, lengkap dengan pendanaan awal dan bimbingan dari para mentor teknologi. Yusuf pindah ke ibu kota, tinggal di kos kecil, dan membangun tim kecil dengan 3 sahabat lamanya.
Mereka menamai startup itu Educilok, gabungan antara “Edukasi” dan “Cilok”, sebagai penghormatan pada masa lalu Yusuf. Dalam waktu setahun, Educilok berkembang pesat. Mereka membuat aplikasi edukasi berbasis kecerdasan buatan yang bisa menyesuaikan kurikulum dengan kemampuan anak.
Aplikasi itu kini digunakan oleh lebih dari 1,2 juta pelajar di Indonesia, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Banyak anak yang tadinya tidak punya akses belajar, kini bisa memahami pelajaran hanya lewat HP murah.
Yusuf menjadi simbol perubahan. Ia mengisi seminar di kampus-kampus, memberikan motivasi di sekolah-sekolah pelosok, dan terus berkata,
“Jangan tunggu pintar dulu baru mulai. Mulailah, nanti kamu jadi pintar karena terbiasa.”
Menghebohkan: Dari Bandung ke Silicon Valley
Tahun 2024 menjadi tahun paling mengejutkan dalam hidup Yusuf. Ia diundang ke ajang Global Young Innovator Summit di Silicon Valley, Amerika Serikat. Tak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai pembicara utama di depan ratusan CEO, investor, dan tokoh teknologi dunia.
Ketika Yusuf bercerita bagaimana ide Educilok lahir dari gerobak cilok, semua hadirin berdiri dan bertepuk tangan. Seorang investor bahkan berkata:
“I’ve never seen something so simple yet so powerful. This is the future of education.”
Tak lama kemudian, sebuah perusahaan teknologi besar dari Kanada menyatakan minat untuk berinvestasi senilai Rp20 miliar dalam pengembangan Educilok versi internasional. Kini, Yusuf dan timnya sedang merancang versi bahasa Inggris dan Arab dari aplikasinya.
Namanya masuk daftar 30 Under 30 Asia versi Forbes. Ia disebut sebagai anak muda paling berpengaruh dalam dunia edukasi digital di Asia Tenggara.
Penutup: Mimpi Tak Butuh Ruang Mewah, Hanya Hati yang Gigih
Kisah Yusuf mengajarkan kita bahwa keterbatasan bukanlah tembok, tapi tantangan yang bisa dilompati. Dari gerobak cilok ke panggung dunia, ia membuktikan bahwa kesungguhan bisa mengalahkan sistem yang timpang.
“Kalau kamu punya alasan untuk menyerah, ingat, kamu juga punya alasan untuk bangkit,” kata Yusuf dalam salah satu seminar motivasinya.
Bagi Yusuf, hidup bukan soal dari mana kita mulai, tapi sejauh mana kita berani melangkah. Ia tak ingin disebut jenius, hanya pemuda biasa yang berani bermimpi besar.